Model Ekonomi Biru Pembangunan Maritim
Oleh: Prof. Dr. Ir. Hasan Sitorus, MS
Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan di Universitas Nommensen Medan
Visi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia merupakan momentum yang tepat untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Dalam mewujudkan poros maritim tersebut, diperlukan model pembangunan maritim yang mampu mengakomodasi kepentingan ekonomi dan ekologi untuk menjamin pemanfaatan yang berkelanjutan, efisien dan bersih lingkungan. Salah satu model pembangunan maritim yang layak diterapkan di Indonesia adalah model pembangunan ekonomi biru (blue economy).
Model pembangunan ekonomi biru dalam pemanfaatan sumberdaya alam diperkenalkan oleh Gunter Pauli tahun 2010 yang mampu membangkitkan 100 inovasi baru dan lapangan kerja 100 juta orang untuk menjawab tantangan sistem ekonomi dunia yang cenderung eksploitatif dan secara nyata telah merusak lingkungan. Prinsip ekonomi biru pada dasarnya memiliki 3 esensi, yakni : 1) Belajar dari Alam (Learning from Nature) yang bekerja sesuai dengan apa yang disediakan alam dengan efisien, 2) Logika Ekosistem (The Logic of Ecosystems) yang mengikuti cara kerja ekosistem seperti air mengalir dari gunung membawa nutrien dan energi untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan seluruh komponen ekosistem dan 3) Prinsip Inovasi Baru (The New Innovations) yakni menghasilkan inovasi baru ekonomi praktis dengan tingkat, efisiensi yang tinggi dan bersih lingkungan.Model ekonomi biru sangat tepat dijadikan sebagai landasan pembangunan maritim Indonesia, dengan beberapa alasan, yaitu : 1) potensi sumberdaya maritim sangat besar, 2) sumberdaya maritim belum dimanfaatkan secara efisien, 3) pemanfaatan sumberdaya maritim secara optimal memiliki efek multiplier bisnis yang beragam, dan 4) ekosistem laut memiliki daya dukung terbatas dan pada banyak lokasi sudah mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia. Oleh sebab itu, pembangunan sektor maritim berbasis ekonomi biru akan memberikan peluang untuk mengembangkan investasi dan bisnis yang lebih menguntungkan secara ekonomi melalui pengelolaan sumberdaya kelautan yang lebih efisien dan ramah lingkungan, mengembangkan sistem produksi yang bersih, menghasilkan produk yang berkualitas dan nilai tambah ekonomi lebih besar, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kesempatan untuk menghasilkan benefit kepada setiap pemangku kepentingan secara lebih adil.Model ekonomi biru sangat relevan dalam mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia dengan menerapkan model pengembangan bisnis kelautan yang mengsinergikan antara pertumbuhan, pembangunan dan lingkungan, sehingga prinsip ekonomi biru relatif sesuai untuk Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan ekosistem laut yang kian rentan terhadap eksternalitas negatif pembangunan di daratan, perubahan iklim global, dan tekanan terhadap sumberdaya kelautan akibat akses terbuka terhadap segala pemanfataan oleh masyarakatPrinsip ekonomi biru dapat dilaksanakan melalui beberapa pendekatan, antara lain : mensinergikan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut dengan ketahanan pangan, strategi pembangunan ekonomi dan sosial, serta mendorong transisi ekonomi, pasar, industri dan masyarakat menuju pola berkelanjutan terhadap penggunaan sumberdaya kelautan dan perikanan dari waktu ke waktu. Beberapa manfaat yang dapat kita peroleh dari pengelolaan sektor kelautan dan perikanan berbasis ekonomi biru yakni : 1) Meningkatnya nilai tambah (added value) produk kelautan dan perikanan yang diikuti oleh peningkatan daya saing, 2) Terciptanya modernisasi sistem hulu dan hilir, 3) Menguatnya para pelaku usaha industri kelautan dan perikanan, 4) Terfokusnya industri pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan pasar, 5) Terjaminnya keberlanjutan produksi, 6) Mendorong transformasi sosial melalui perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat sesuai karakteristik masyarakat industri modern, dan 7) Akselerasi produksi perikanan nasional yang berorientasi pada trend pasar global dan lokal.
Kebijakan Strategis
Dalam mengimplementasikan pembangunan maritim berbasis ekonomi biru, maka setidaknya dibutuhkan 4 (empat) kebijakan dasar strategis dari pemerintah untuk percepatan pembangunan maritim, yaitu : 1) Kebijakan Pembangkitan Investasi Maritim (Maritime Rising Investment Policy), 2) Kebijakan Peningkatan SDM Kemaritiman (Maritime Human Resources Development Policy), 3) Kebijakan Riset dan Teknologi Kemaritiman (Maritime Research dan Technology Policy), dan 4) Kebijakan Konservasi Sumberdaya Maritim (Maritime Resources Conservation Policy).
Kebijakan yang pertama mensyaratkan pemerintah harus dapat memberikan kemudahan atau insentif bagi investor, sehingga usaha kelautan dan perikanan dapat berkembang. Dapat dipastikan, peningkatan investasi akan banyak menyerap tenaga kerja dan mempunyai efek multiplier ke sub sektor lainnya. Insentif bagi investor dapat diberikan dalam bentuk : a) debirokratisasi administrasi proses penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri bidang kemaritiman, b) penetapan skim tarif impor dan pajak ekspor produk kelautan dan perikanan yang rendah, c) penyiapan sarana dan prasarana yang dapat mendukung kegiatan sektor kelautan dan perikanan seperti modernisasi pelabuhan perikanan dan cold storage, dan d) penguatan lembaga keuangan yang mendukung kegiatan sektor kelautan dan perikanan.Kebijakan kedua tentang peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang kelautan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi dan penyadaran masyarakat. Kebijakan ini mensyaratkan peningkatan jumlah lembaga pendidikan tingkat menengah dan pendidikan tinggi bidang kelautan dan perikanan ditujukan untuk penguasaan ilmu dan teknologi kemaritiman. Demikian halnya sosialisasi dan penyadaran masyarakat tentang pentingnya peranan laut bagi masyarakat pesisir atau nelayan harus dilakukan secara terencana dan kontinyu oleh pemerintah sehingga memungkinkan revolusi mental dari aspek kognitif ke aspek psikomotorik. Dengan demikian diharapkan terjadinya perubahan budaya eksploitatif menjadi budaya konservatif, perubahan mental buruh menjadi pelaku ekonomi, dan perubahan pandangan bahwa sumberdaya kelautan dapat menjadi mata pencaharian utama, bukan sambilan.Kebijakan ketiga adalah peningkatan riset dan teknologi kemaritiman untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kita mengakui bahwa pembangunan sektor kemaritiman relatif tertinggal dibanding sektor lainnya di tanah air, karena kebijakan pembangunan selama ini lebih berorientasi ke daratan. Oleh sebab itu, misi poros maritim dunia tersebut menjadi momentum yang tepat untuk mengembalikan kejayaan maritim, melalui peningkatan kegiatan riset kelautan dan perikanan baik riset dasar, riset terapan maupun riset pengembangan. Hasil riset dan inovasi akan membantu pemerintah dalam memberikan alternatif penyelesaian yang riil untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dan mengolah hasil perikanan dari satu produk menjadi bahan baku bagi produk lain sehingga mampu menghasilkan lebih banyak produk turunan bernilai ekonomis tinggi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diharapkan mampu menerapkan hasil pengembangan iptek kelautan dan perikanan menjadi teknologi siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi ekonomi biru. Oleh sebab itu perlu dilakukan inventarisasi hasil penelitian dan teknologi serta identifikasi pasar yang potensial untuk memasarkan produk-produk turunan tersebut. Dalam hal ini, KKP secara aktif harus memperkuat kemitraan yang sinergis antara perguruan tinggi, pemerintah, dan swasta yang bertujuan mengembangkan paradigma ekonomi biru. Sampai saat ini sudah 12 negara di dunia yang telah berhasil menerapkan ekonomi biru dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan secara nyata telah mensejahterakan masyarakat pesisir dan nelayan di negara tersebut.Kebijakan keempat adalah perlindungan atau konservasi sumberdaya kemaritiman, baik hayati maupun nir hayati dengan tujuan untuk menjamin kontinuitas produksi dan kelestarian sumberdaya kelautan. Kebijakan konservasi sumberdaya ini pada dasarnya sudah dilaksanakan di Indonesia melalui implementasi Keppres No. 80 Tahun 1983 tentang Pelarangan Pukat Harimau (Trawl), UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Permen KKP No. 12 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas. Demikian juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti baru-baru ini tentang pelarangan operasi Pukat Tarik (Cantrang), dan pembatasan penangkapan lobster adalah wujud nyata untuk perlindungan sumberdaya kelautan kita. Yang menjadi masalah dalam implementasi seluruh peraturan perundang-undangan ini adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, sehingga sumberdaya kelautan kita sudah banyak yang mengalami deplesi, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, dan pencemaran perairan laut.
Paradigma ekonomi biru merupakan bagian dari kerangka kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan yang menekankan pentingnya modernisasi, peningkatan nilai tambah, dan daya saing terlebih-lebih dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah dekat. Ekonomi biru secara langsung mendukung keberhasilan dari program percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan, karena dapat memanfaatkan hasil sampingan (side product) produk perikanan menjadi sebuah pendapatan baru yang bernilai tambah tinggi. Misalnya, selama ini kita mengekspor udang yang produk utamanya dalam bentuk daging, sedangkan kepala dan kulitnya menjadi limbah hasil perikanan yang tidak bernilai ekonomis. Dengan penerapan ekonomi biru, sisa hasil perikanan tersebut dapat diolah menjadi berbagai produk turunan bernilai tambah tinggi seperti Chitosan yang dapat digunakan sebagai pengawet ikan yang aman bagi konsumen, dan sekaligus upaya pengendalian pencemaran lingkungan. Oleh sebab itu, paradigma ekonomi biru sangat relevan untuk pembangunan kemaritiman kita, baik kegiatan budidaya laut, perikanan tangkap, pengolahan produk perikanan dan turunannya maupun pemanfaatan jasa lingkungan laut.
Baca Selengkapnya ....