Panduan Pengolahan Data Service Quality (SQ), Customer Satisfaction Index (CSI) Dan Index Performance Analysis (IPA) Dengan Software Excel Dan SPSS

Posted by Benny Osta Nababan Selasa, 09 Februari 2021 0 komentar

Metode IPA pertama kali diperkenalkan oleh Martilla dan James (1977).  Tujuan metode IPA untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen terhadap harapan layanan (Importance) dan persepsi konsumen terhadap kinerja yang diberikan (Performance).  Selain itu, metode IPA juga bertujuan untuk peningkatan kualitas produk / jasa yang dikenal pula sebagai quadrant analysis. Metode IPA telah diterima secara umum dan dipergunakan pada berbagai bidang kajian karena kemudahan untuk diterapkan dan tampilan hasil analisa yang memudahkan usulan perbaikan kinerja.  Metode IPA mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi tentang faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen sangat mempengaruhi kepuasan dan loyalitasnya, dan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen perlu diperbaiki karena pada saat ini belum memuaskan.  Metode IPA secara konsep merupakan suatu model multi-atribut, yang mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan penawaran pasar dengan menggunakan dua kriteria yaitu kepentingan / harapan / importance relatif atribut dan kinerja / kepuasan / performance yang dirasakan konsumen yang diberikan perusahaan. 

Anda dapat download panduan dengan mencantumkan sumber aslinya seperti berikut ini : 

Nababan, BO.  2018.  Panduan Pengolahan Data Service Quality (SQ), Customer Satisfaction Index (CSI) Dan Index Performance Analysis  (IPA) Dengan Software Excel Dan SPSS.  LPPM STIE Dewantara.  Bogor.


Baca Selengkapnya ....

EMAS BIRU NUSA UTARA

Posted by Benny Osta Nababan Selasa, 29 September 2020 0 komentar

 



Buku ini disusun sebagai refleksi program SKPT di Kabupaten Kepulauan Talaud yang telah dilakukan oleh Direktorat Jasa Kelautan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. SKPT Kabupaten Kepulauan Talaud yang berlokasi di Pulau Salibabu ini diharapkan mampu menjadi titik pangkal pergerakan ekonomi masyarakat di Kabupaten Kepulauan Talaud yang tersebar di beberapa daerah penyangga di beberapa pulau. Tentunya apa yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan masih membutuhkan sinergi dan harmonisasi yang lebih besar dengan Kementerian Koordinator, Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan stakeholder terkait lainnya agar salah satu

Download Buku:

EMAS BIRU NUSA UTARA


Baca Selengkapnya ....

Integrated Marine and Fisheries Center and priority for product intensification in East Sumba, Indonesia

Posted by Benny Osta Nababan Selasa, 15 September 2020 0 komentar


Integrated Marine and Fisheries Center and priority for product intensification in East Sumba, Indonesia

ABSTRACT

The main composition of fishery’s economy in Indonesia is small-scale fishery who rely on traditional capture fisheries management, likewise in East Sumba Regency. However, from the potential side, East Sumba waters have great resources besides capture fisheries. Thus, research is conducted to identify strategic products existing in East Sumba, Indonesia, and to calculate the level of economic impact for the regional economy and labour absorption. The method used in this research is a qualitative descriptive method using multiplier effect analysis and business feasibility analysis. The results of the study show that seaweed, capture fisheries, freshwater farming, salt, artemia, and tourism have the potential as economic primemover of small-scale fishery in East Sumba. Seaweed has the highest business feasibility, followed by capture fisheries, and freshwater farming as a third. Meanwhile, salt, artemia cultivation and marine tourism have lower business feasibility and still need further development in the trial phase. With the addition of a formal management institutional mechanism called the Integrated Marine and Fisheries Center (IMFC) by the government all of these resources can be managed integrally and efficiently, with high quality and acceleration so that the regional economy can be leveraged including the welfare of the small-scale fishers. 

Keywords: East Sumba; Indonesia; IMFC; marine product’s intensification; SDGs.

Artikel diterbitkan pada journal :

IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 414 (2020) 012014 

IOP Publishing doi:10.1088/1755-1315/414/1/012014

Artikel dapat didownload pada link :

https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/414/1/012014/pdf


Baca Selengkapnya ....

The economic impact of the “cantrang” prohibition in the northern Java Sea, Indonesia

Posted by Benny Osta Nababan 0 komentar

 The economic impact of the “cantrang” prohibition in the northern Java Sea, Indonesia


ABSTRACT

The present study aimed to compare the economic impact of “cantrang” to other environmental-friendly fishing gears on the northern Java Sea. The study was conducted in the Provinces of Banten, West Java, Central Java and East Java. The type of data used are primary and secondary data where primary data collection was carried out by conducting interviews with key informants using questionnaire, interview, field observations and focused group discussions. The results showed that “cantrang” gear provides a higher level of profit compared to other fishing gears. Based on the analysis of investment criteria, “cantrang” has better criteria than “multi-monofilament gill net” gear operated in Pandeglang and Indramayu, West Java and “purse seine” gear operated in Rembang and Lamongan, East Java. The amount of profit sharing received by danish seiner iwas higher than the district minimum wage on each research location. Therefore, danish seiner are reluctant to switch from “danish seine” to another fishing gear, and challenge the prohibition policy issued by government. In order to encourage danish seiner for switching to more environmental-friendly gear, the policy have to address the welfare of danish seiner first before applying substituted gear to maintain the sustainability of fish resources.

Key Words: demersal, fisheries policy, fishing gear, financial analysis, welfare.

Artikel diterbitkan pada Jurnal Internasional terindeks Q3 : 

Artikel Internasional journal in dapat didownload pada link :


Baca Selengkapnya ....

ANALISIS EKONOMI ALAT TANGKAP ARAD DI PANTAI UTARA PROVINSI JAWA TENGAH

Posted by Benny Osta Nababan 0 komentar


ANALISIS EKONOMI ALAT TANGKAP ARAD DI PANTAI UTARA

PROVINSI JAWA TENGAH

Economic Analysis of Arad Fishing Gear In Northern of Central Java

 

ABSTRAK

Arad termasuk dalam alat tangkap perikanan yang dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor. 2/Permen-Kp/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.  Penelitian ini bertujuan untuk analisis ekonomi 1 alat tangkap arad dengan usaha penangkapan arad yang dikombinasikan dengan alat tangkap lainnya di Pantai Utara Jawa Tengah.  Penelitian dilakukan di Jawa Tengah.  Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.  Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara kepada nelayan arad dengan ukuran kapal kurang dari 10 GT dan menggunakan panduan wawancara serta pengamatan lapangan.  Pengumpulan data sekunder dilakukan ke instansi pemerintah seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah dan BPS.  Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian nelayan arad memiliki alat tangkap lain seperti sudu, gillnet dan trammel net.  Penggunaan alat tangkap berdasarkan musim ikan, seperti musim cumi, teri, kakap, belanak, kembung dan lainnya.  Penelitian ini mengelompokkan nelayan berdasarkan jumlah alat tangkap yang dimiliki yaitu satu alat tangkap (arad), dua alat tangkap (arad dan sudu), tiga alat tangkap (arad, trammel net dan gillnet).  Nelayan yang memiliki alat tangkap tambahan selain arad memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan hanya memiliki satu alat tangkap (arad).  Manfaat lebih tinggi namun dengan kombinasi alat tangkap yang ramah lingkungan adalah penggunaan 3 alat tangkap yaitu arad disertai dengan gillnet dan trammel net sesuai musim ikan memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan arad sepanjang tahun.   


Kata kunci: arad; analisis ekonomi; keberlanjutan; sumberdaya ikan; kesejahteraan nelayan; Jawa Tengah

Jurnal ini dapat dilihat pada Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan perikanan, Volume 15 No 1 Tahun 2020 : 

Dapat didownload pada link : 


Baca Selengkapnya ....

Model Ekonomi Biru Pembangunan Maritim

Posted by Benny Osta Nababan Minggu, 23 Agustus 2020 0 komentar

Oleh: Prof. Dr. Ir. Hasan Sitorus, MS

Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan di Universitas Nommensen Medan

Visi Presiden Joko Widodo untuk menja­di­kan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia merupakan momentum yang tepat untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Dalam mewujudkan poros maritim tersebut, diper­lukan model pembangunan maritim yang mampu menga­komodasi kepentingan ekono­mi dan ekologi untuk menjamin pemanfaatan yang berkelan­jutan, efisien dan bersih lingkungan. Salah satu model pembangunan maritim yang layak diterapkan di Indonesia adalah model pembangunan ekonomi biru (blue economy).
Model pembangunan ekonomi biru dalam pemanfaatan sumberdaya alam diperkenal­kan oleh Gunter Pauli tahun 2010 yang mam­pu membangkitkan 100 inovasi baru dan lapangan kerja 100 juta orang untuk menja­wab tantangan sistem ekonomi dunia yang cenderung eksploitatif dan secara nyata telah merusak lingkungan. Prinsip ekonomi biru pada dasarnya memiliki 3 esensi, yakni : 1) Belajar dari Alam (Learning from Nature) yang bekerja sesuai dengan apa yang dise­diakan alam dengan efisien, 2) Logika Ekosis­tem (The Logic of Ecosystems) yang mengikuti cara kerja ekosistem seperti air mengalir dari gunung membawa nutrien dan energi untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan seluruh komponen ekosistem dan 3) Prinsip Inovasi Baru (The New Innovations) yakni menghasilkan inovasi baru ekonomi praktis dengan tingkat, efisiensi yang tinggi dan bersih lingkungan.Model ekonomi biru sangat tepat dijadi­kan sebagai landasan pembangunan maritim Indonesia, dengan beberapa alasan, yaitu : 1) potensi sumberdaya maritim sangat besar, 2) sumberdaya maritim belum diman­faat­kan secara efisien, 3) pemanfaatan sumberdaya maritim secara optimal memiliki efek multiplier bisnis yang beragam, dan 4) ekosistem laut memiliki daya dukung terbatas dan pada banyak lokasi sudah mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia. Oleh sebab itu, pembangunan sektor maritim berbasis ekono­mi biru akan memberikan peluang untuk me­ngembang­kan investasi dan bisnis yang lebih menguntungkan secara ekonomi melalui pengelolaan sumberdaya kelautan yang lebih efisien dan ramah lingkungan, mengem­bang­kan sistem produksi yang bersih, meng­ha­sil­kan produk yang berkua­litas dan nilai tambah ekonomi lebih besar, meningkatkan penyera­pan tenaga kerja dan memberikan kesempatan untuk menghasil­kan benefit kepada setiap pemangku kepenti­ngan secara lebih adil.Model ekonomi biru sangat relevan dalam mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia dengan menerapkan model pengembangan bisnis kelautan yang mengsi­nergikan antara pertumbuhan, pembangunan dan lingkungan, sehingga prinsip ekonomi biru relatif sesuai untuk Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan ekosistem laut yang kian rentan terhadap eksternalitas negatif pembangunan di daratan, perubahan iklim global, dan tekanan terhadap sumber­daya kelautan akibat akses terbuka terhadap segala pemanfataan oleh masyarakatPrinsip ekonomi biru dapat dilaksanakan melalui beberapa pendekatan, antara lain : mensinergikan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut dengan ketahanan pangan, strategi pembangunan ekonomi dan sosial, serta mendorong transisi ekonomi, pasar, industri dan masyarakat menuju pola berkelanjutan terhadap penggunaan sumberdaya kelautan dan perikanan dari waktu ke waktu. Bebe­rapa manfaat yang dapat kita peroleh dari pengelolaan sektor kelautan dan perikanan berbasis ekonomi biru yakni : 1) Mening­kat­nya nilai tambah (added value) produk kelautan dan perikanan yang diikuti oleh peningkatan daya saing, 2) Terciptanya modernisasi sistem hulu dan hilir, 3) Me­nguatnya para pelaku usaha industri kelau­tan dan perikanan, 4) Terfokusnya industri pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan pasar, 5) Terjaminnya keberlan­jutan produksi, 6) Mendorong transformasi sosial melalui perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat sesuai karakte­ristik masyarakat industri modern, dan 7) Aksele­rasi produksi perikanan nasional yang bero­rientasi pada trend pasar global dan lokal.
Kebijakan Strategis
Dalam mengimplementasikan pembangu­nan maritim berbasis ekonomi biru, maka setidaknya dibutuhkan 4 (empat) kebijakan dasar strategis dari pemerintah untuk percepatan pembangunan maritim, yaitu : 1) Kebijakan Pembangkitan Investasi Maritim (Maritime Rising Investment Policy), 2) Kebijakan Peningkatan SDM Kemaritiman (Maritime Human Resources Development Policy), 3) Kebijakan Riset dan Teknologi Kemaritiman (Maritime Research dan Technology Policy), dan 4) Kebijakan Konservasi Sumberdaya Maritim (Maritime Resources Conservation Policy).
Kebijakan yang pertama mensyaratkan pemerintah harus dapat memberikan kemu­dahan atau insentif bagi investor, sehingga usaha kelautan dan perikanan dapat berkem­bang. Dapat dipastikan, peningkatan inves­tasi akan banyak menyerap tenaga kerja dan mempunyai efek multiplier ke sub sektor lainnya. Insentif bagi investor dapat diberi­kan dalam bentuk : a) debirokratisasi admi­nistrasi proses penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri bidang kemaritiman, b) penetapan skim tarif impor dan pajak ekspor produk kelautan dan perikanan yang rendah, c) penyiapan sarana dan prasarana yang dapat mendukung kegiatan sektor kelautan dan perikanan seperti modernisasi pelabuhan perikanan dan cold storage, dan d) penguatan lembaga keuangan yang mendukung kegiatan sektor kelautan dan perikanan.Kebijakan kedua tentang peningkatan kualitas sumberdaya manusia di bidang kelautan dapat dilakukan melalui pendidi­kan, pelatihan, sosialisasi dan penyadaran masyarakat. Kebijakan ini mensyaratkan peningkatan jumlah lembaga pendidikan tingkat menengah dan pendidikan tinggi bidang kelautan dan perikanan ditujukan untuk penguasaan ilmu dan teknologi kemaritiman. Demikian halnya sosialisasi dan penyadaran masyarakat tentang penting­nya peranan laut bagi masyarakat pesisir atau nelayan harus dilakukan secara terencana dan kontinyu oleh pemerintah sehingga me­mung­kinkan revolusi mental dari aspek kognitif ke aspek psikomotorik. Dengan demikian diharapkan terjadinya perubahan budaya eksploitatif menjadi budaya konser­vatif, perubahan mental buruh menjadi pelaku ekonomi, dan perubahan pandangan bahwa sumberdaya kelautan dapat menjadi mata pencaharian utama, bukan sambilan.Kebijakan ketiga adalah peningkatan riset dan teknologi kemaritiman untuk mewu­judkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kita mengakui bahwa pembangunan sektor kemaritiman relatif tertinggal diban­ding sektor lainnya di tanah air, karena kebi­jakan pembangunan selama ini lebih bero­rien­tasi ke daratan. Oleh sebab itu, misi poros maritim dunia tersebut menjadi momentum yang tepat untuk mengembalikan kejayaan maritim, melalui peningkatan kegiatan riset kelautan dan perikanan baik riset dasar, riset terapan maupun riset pengembangan. Hasil riset dan inovasi akan membantu pemerintah dalam memberikan alternatif penyelesaian yang riil untuk mengoptimalkan peman­faatan sumberdaya kelautan dan perikanan dan mengolah hasil perikanan dari satu produk menjadi bahan baku bagi produk lain sehingga mampu menghasilkan lebih banyak produk turunan bernilai ekonomis tinggi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diharapkan mampu menerapkan hasil pengembangan iptek kelautan dan perikanan menjadi teknologi siap pakai untuk difungsi­kan dalam sistem produksi ekonomi biru. Oleh sebab itu perlu dilakukan inventarisasi hasil penelitian dan teknologi serta identifi­kasi pasar yang potensial untuk memasarkan produk-produk turunan tersebut. Dalam hal ini, KKP secara aktif harus memperkuat kemitraan yang sinergis antara perguruan tinggi, pemerintah, dan swasta yang bertu­juan mengembangkan paradigma ekonomi biru. Sampai saat ini sudah 12 negara di dunia yang telah berhasil menerapkan ekonomi biru dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan secara nyata telah mensejahterakan masyarakat pesisir dan nelayan di negara tersebut.Kebijakan keempat adalah perlindungan atau konservasi sumberdaya kemaritiman, baik hayati maupun nir hayati dengan tujuan untuk menjamin kontinuitas produksi dan kelestarian sumberdaya kelautan. Kebijakan konservasi sumberdaya ini pada dasarnya sudah dilaksanakan di Indonesia melalui implementasi Keppres No. 80 Tahun 1983 tentang Pelarangan Pukat Harimau (Trawl), UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Permen KKP No. 12 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tang­kap di Laut Lepas. Demikian juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujias­tuti baru-baru ini tentang pelara­ngan operasi Pukat Tarik (Cantrang), dan pembatasan penang­kapan lobster adalah wujud nyata untuk perlindungan sumberdaya kelautan kita. Yang menjadi masalah dalam implementasi seluruh peraturan perundang-undangan ini adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, sehingga sumber­daya kelautan kita sudah banyak yang mengalami deplesi, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, dan pencemaran perairan laut.
Paradigma ekonomi biru merupakan bagian dari kerangka kebijakan industria­lisasi kelautan dan perikanan yang mene­kankan pentingnya modernisasi, peningkatan nilai tambah, dan daya saing terlebih-lebih dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah dekat. Ekonomi biru secara langsung mendukung keber­hasilan dari program percepatan industria­lisasi kelautan dan perikanan, karena dapat memanfaatkan hasil sampingan (side product) produk perikanan menjadi sebuah pendapatan baru yang bernilai tambah tinggi. Misalnya, selama ini kita mengekspor udang yang produk utamanya dalam bentuk daging, sedangkan kepala dan kulitnya menjadi limbah hasil perikanan yang tidak bernilai ekonomis. Dengan penerapan ekonomi biru, sisa hasil perikanan tersebut dapat diolah menjadi berbagai produk turunan bernilai tambah tinggi seperti Chitosan yang dapat digunakan sebagai pengawet ikan yang aman bagi konsumen, dan sekaligus upaya pengen­dalian pencemaran lingkungan. Oleh sebab itu, paradigma ekonomi biru sangat relevan untuk pembangunan kemaritiman kita, baik kegiatan budidaya laut, perikanan tangkap, pengolahan produk perikanan dan turunan­nya maupun pemanfaatan jasa lingkungan laut.


Baca Selengkapnya ....

Share with

Twitter Google Plus Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
Tutorial SEO dan Blog | Copyright of Resources Economic, Policy, Statistic and Socio Economics.

Resources Economics